Monday, December 4, 2017

Bob Setyanegara: Ini Konsekuensi Pengunduran Diri Setelah Lolos CPNS

Bob Setyanegara
CPNS

Dunia maya ramai membicarakan pengunduran diri seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang melamar sebagai calon penjaga tahanan atau sipir di Kementerian Hukum dan HAM RI. Ia berniat mengundurkan diri meskipun sudah dinyatakan lulus, pemberkasan sudah dilakukan dan tinggal menunggu SK saja. Hal itu dilakukannya demi merawat sang ibu yang sakit radang sendi. Namun, CPNS tersebut bingung bagaimana prosedur pengunduran diri seorang CPNS.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, diatur kemungkinan seorang CPNS melakukan pengunduran diri. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang CPNS dapat diberhentikan dengan beberapa alasan, salah satunya mengundurkan diri.

Merujuk pada Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil, terhadap CPNS yang sudah ditetapkan nomor induk pegawai (NIP) tetapi belum mendapat surat keputusan pengangkatan sebagai CPNS, maka Kepala BKN akan melakukan pembatalan NIP. Sementara itu, jika pengunduran diri terjadi setelah ditetapkan surat keputusan pengangkatan CPNS dan belum melaksanakan tugas, maka akan diterbitkan surat keputusan pemberhentian sebagai CPNS.

Menurut Direktorat Status dan Kedudukan Pegawai BKN, dalam laman resmi BKN, CPNS yang mengundurkan diri akan mendapat konsekuensi. Pertama, ia kehilangan status sebagai CPNS. Kedua, instansi tempat dirinya berstatus sebagai CPN akan memberhentikan dengan hormat. Ketiga, dirinya diperbolehkan melamar kembali sebagai CPNS tanpa ada kaitannya dengan CPNS maupun NIP sebelumnya. sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, jika CPNS mundur setelah terhitung masuk dalam masa prajabatan, ada konsekuensi lain yang harus ditanggung. Pasal 35 PP No. 11 Tahun 2017 secara tegas menyatakan bahwa “Calon PNS yang mengundurkan diri pada saat menjalani masa percobaan dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti seleksi pengadaan PNS untuk jangka waktu tertentu”. Sayangnya, tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai berapa lama waktu tertentu yang dimaksud di dalam PP itu.

Sekretaris Deputi pada Deputi Bidang SDM Aparatur, Kementerian Pan-RB Aba Subagja pun hanya menjelaskan, tidak bisa mengkikuti seleksi pengadaan PNS untuk jangka waktu tertentu artinya tidak bisa langsung ikut tes CPNS tahun berikutnya atau beberapa tahun selanjutnya. Menurut Aba, hal ini karena CPNS yang melakukan pengunduran diri telah merugikan orang lain.

“Bagi CPNS yang mengikuti dan lulus prajab, kemudian mengundurkan diri, dia tidak boleh mendaftar dalam jangka waktu tertentu. Maksudnya tidak bisa mendaftar langsung di tahun berikutnya atau beberapa tahun selanjutnya. Karena sudah merugikan orang lain. Berbeda halnya jika tidak lulus masa prajabatan. Maka, yang bersangkutan bisa kembali mengikuti seleksi CPNS berikutnya,” kata Aba di Jakarta, Jumat (24/11).

Lebih lanjut Aba menjelaskan, CPNS yang mengundurkan diri akan meninggalkan kekosongan formasi. Untuk mengisinya, menurut Aba belum tentu secara otomatis diisi peserta yang berada pada ranking di bawahnya. Bisa pula formasi itu baru diisi melalui seleksi CPNS tahun berikutnya.

“Nanti Kementerian Pan-RB yang akan memutuskan. Dilihat dulu. Biasanya memang formasi kekosongan peserta itu akan digantikan yang lain. Tentu peserta dengan ranking di bawahnya bisa naik. Tetapi, bisa juga diputuskan formasi itu diisi dalam CPNS tahun berikutnya," kata Aba.

Selain konsekuensi terkait kesempatan mengikuti seleksi CPNS, juga banyak beredar kabar CPNS yang mengundurkan diri harus membayar sejumlah denda. Namun, di dalam PP No. 11 Tahun 2017 tidak ditemui ketentuan mengenai denda tersebut. Aba mengakui, memang ada instansi yang memberlakukan denda bagi CPNS yang mengundurkan diri.

“Soal sanksi seperti denda, tergantung pada masing-masing instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Ada yang memberikan denda, tapi ada juga yang tidak,” katanya.

Sayangnya, dia tak bersedia menyebut instansi mana saja yang memberlakukan sanksi itu. Ia juga mengaku tak bisa merinci besaran denda dari pengunduran diri tersebut. “Harus ditanyakan ke masing-masing instansi untuk besarannya. Mungkin supaya terikat dan mereka butuh keseriusan dari PNS ini," pungkasnya.

Sunday, December 3, 2017

Mereposisi Status Hakim yang Ideal

Bob Setyanegara
Hakim

Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim kepada DPR. Salah satu fokus permasalahan mengenai status hakim sebagai pejabat. Status tersebut berimpilkasi cukup kompleks, terutama berkaitan dengan rekrutmen, sistem karier, masa jabatan, dan pemenuhan hak-fasilitas hakim sebagai pejabat negara.

Sejak 2011, rekrutmen hakim bak "mati suri". Sudah hampir tujuh tahun tidak ada perekrutan hakim. Padahal, rekrutmen hakim dirasa sangat mendesak, mengingat meningkatnya beban kerja dan kebutuhan pengisian 86 satuan kerja baru pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara akibat pemekaran wilayah. 

Mengutip Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2016, berdasarkan analisis beban kerja tahun 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebanyak 12.847 orang. Sementara, jumlah hakim yang ada saat ini 7.989 orang. Berarti, masih ada kekurangan sebanyak 4.858 hakim.

Ternyata permasalahannya, ya itu tadi, implikasi dari status hakim sebagai pejabat negara belum jelas. Hal ini diamini pula Hakim Agung yang juga Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Suhadi. "Nah, ini permasalahannya, sehingga dalam hal rekrutmen hakim, sampai tujuh tahun kita terbelenggu," katanya saat ditemui hukumonline di kantornya di Gedung MA, Jumat (26/5/2017). Baca Juga: Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

Memang, sesuai Pasal 19 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, "Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang". Hakim dimaksud adalah hakim pada MA dan hakim di bawahnya pada lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, serta hakim pada pengadilan khusus (hakim ad hoc) yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Penyebutan hakim sebagai pejabat negara kembali diperjelas dalam Pasal 31 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan, "Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung".

Tak hanya UU Kekuasaan Kehakiman. Masih ada beberapa UU lain yang menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. Terakhir, UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dimana, Pasal 122 menyebutkan secara tegas bahwa hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc, merupakan pejabat negara.

Akibat perubahan status hakim menjadi pejabat negara, permintaan MA untuk perekrutan hakim kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) tidak dapat dipenuhi. Sebab, KemenPAN-RB hanya berwenang menetapkan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), bukan Calon Pejabat Negara.

Padahal, menurut Suhadi, sejak 2011 dan tahun-tahun berikutnya, MA selalu memiliki alokasi anggaran untuk rekrutmen hakim. Namun, rekrutmen tidak dapat dilaksanakan karena terbentur ketiadaan aturan mengenai tata cara rekrutmen calon hakim selaku pejabat negara yang memang memiliki karakteristik berbeda dengan pejabat negara lain.

"Dulu kita undang dari MenPAN-RB dan BKN. Bagaimana, bisa tidak? Selama ini, penerimaan hakim dari MenPAN-RB seluruh kementerian/lembaga dapat kuotanya dari sana, untuk pegawai negeri sekian. (Tapi) Di sana kita mengatakan ‘angkat tangan’, kita hanya mengurus pegawai negeri dan ASN, kita tidak mengurus pejabat negara," ujar Suhadi mengutip pernyataan kedua lembaga pemerintah itu. Baca Juga: Persoalan Ini Jadi Penghambat Rekutmen Calon Hakim

Respon serupa juga datang dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Suhadi membeberkan, ketika berkonsultasi dengan Kemenkeu, lembaga yang dipimpin Sri Mulyani ini mengaku tidak dapat mengeluarkan pembayaran untuk penerimaan hakim. Alasannya, harus ada Keputusan Pejabat Penyelenggara Negara, misalnya Presiden, sebagai dasar pembayaran.

Namun, sebelum lebih jauh masuk pada pokok permasalahan kedudukan hakim sebagai pejabat negara, mari tengok perjalanan posisi hakim hingga menjadi pejabat negara dalam berbagai UU. Seperti diketahui, dahulu, badan peradilan belum berada satu atap di bawah MA, tetapi masih "tersebar" di beberapa kementerian/lembaga.

Peradilan umum dan tata usaha negara masih di bawah Departemen Kehakiman, peradilan agama di bawah Departemen Agama, dan peradilan militer yang masih berada di bawah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). Tak heran, jika dahulu hakim-hakim berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau militer.

Dengan keberadaan hakim di bawah eksekutif, dahulu, hakim sangat rentan diintervensi penguasa. Bahkan, jika menilik ke belakang, di era orde lama dan orde baru, kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya bebas dan merdeka. Dalam UU No.19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman misalnya.

Pasal 19 UU No.19 Tahun 1964 jelas sekali membuka "pintu" bagi campur tangan Presiden. Secara gamblang, penjelasan Pasal 19 menyebutkan, pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Ada kalanya, Presiden harus turun atau campur tangan, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar.

Bagaimana dengan era orde baru? Meski UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa, tetapi masih ada celah karena ada klausul "kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang."

Hingga era reformasi pun tiba. Ketetapan MPR-RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara mengamanatkan pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Wujud pemisahan dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah Kementerian/Lembaga yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan (tunggal) MA yang lazim disebut sistem satu atap. 

Kemudian, UU Kekuasaan Kehakiman direvisi dengan UU No.35 Tahun 1999 dan UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian direvisi dengan UU No.43 Tahun 1999. Pada 2001, UUD 1945 juga mengalami amandemen ketiga, dimana Pasal 24 menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dari perubahan yang terjadi setelah era reformasi, UU Kepegawaian mulai menempatkan hakim sebagai pejabat negara.

Beragam konsekuensi hakim sebagai pejabat negara
Setelah mencermati perjalanan posisi hakim hingga berujung pada "penyematan" status pejabat negara, mari lebih jauh membahas konsekuensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Namun, pembahasan dikhususkan pada hakim-hakim yang berada di bawah MA, yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Suhadi mengungkapkan, ada beberapa konsekuensi yang timbul dari kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Konsekuensi itu, antara lain berkaitan dengan pola rekrutmen, pendidikan, karir, kepangkatan, periodesasi masa jabatan, serta pemenuhan hak dan fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Baca Juga: Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara

Lebih lanjut, Suhadi menjelaskan, pada umumnya, pejabat negara memiliki periodesasi masa jabatan, misalnya lima tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu periode. Periodesasi masa jabatan semacam ini tidak dapat diterapkan kepada hakim? Sebab, jabatan hakim tidak mengenal periodesasi, melainkan karir dan pensiun.

Selain itu, pejabat negara juga tidak mengenal kepangkatan. Namun, layaknya PNS, hakim memiliki kepangkatan atau golongan. Bahkan, kepangkatan hakim mengikuti kepangkatan PNS. Begitu pula dengan struktur gaji. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No.94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung menyebutkan, ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan PNS.

Dari sisi rekrutmen dan pendidikan calon hakim, konsekuensinya menjadi lebih rumit. Lazimnya, pejabat negara dipilih melalui proses seleksi lembaga lain, pemilihan umum, atau penunjukan. Faktanya, selama ini, pola rekrutmen hakim hampir serupa PNS, meski memiliki tata cara tersendiri, yakni melalui proses seleksi (CPNS) dan pendidikan calon hakim. 

Sebagai panduan, Ketua MA kala itu, Harifin A Tumpa mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor : 169/KMA/SK/X/2010 tentang Penetapan dan Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu. Kurikulum ditetapkan terdiri dari kurikulum pendidikan dan latihan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) MA, serta panduan magang pada pengadilan tingkat pertama.

Setelah lulus pendidikan hakim selama dua tahun lebih, para calon hakim tersebut baru dapat diangkat menjadi hakim ketika diusulkan oleh Ketua MA kepada Presiden. Sayang, pasca penetapan status hakim sebagai pejabat negara, terjadi kekosongan hukum mengenai tata cara rekrutmen hakim selaku pejabat negara.

Menurut Suhadi, para calon hakim yang mengikuti rekrutmen hingga pengusulan oleh Ketua MA ke Presiden tidak memiliki status. Berbeda dengan pejabat negara pada umumnya, begitu dilantik langsung berstatus sebagai pejabat negara. "Tidak ada (istilah) calon pejabat negara, 2,5 tahun (ikut pendidikan dan pelatihan). Tidak ada aturanya," ucapnya.

Sebenarnya, sesuai amanat UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Tata Usaha Negara Tahun 2009, pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh MA dan Perguruan Tinggi Negeri atau swasta yang terakreditasi A. Dahulu, ketiga UU ini juga mengatur proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan MA bersama Komisi Yudisial (KY).

Bahkan, MA dan KY sempat menandatangani Peraturan Bersama No.01/PB/MA/IX/2012 dan No.01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi Pengangkatan Hakim. Belakangan IKAHI “protes” dengan melakukan uji materi, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 43/PUU-XIII/2015 menyatakan ketentuan mengenai keterlibatan KY inkonstitusional.

Alhasil, proses seleksi pengangkatan hakim dikembalikan sepenuhnya kepada MA. MA pun menerbitkan Peraturan MA (PERMA) No.6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Tenaga Hakim. Mengutip Laporan Tahunan MA 2016, MA juga sempat mengusulkan formasi hakim kepada Presiden, tetapi belum dipenuhi pemerintah.

Hal inilah yang mengakibatkan tidak ada perekrutan hakim sampai sekarang. Demi mencari solusi, MA sempat mempertimbangkan perekrutan hakim melalui jalur CPNS, tetapi urung dilakukan. Mengingat kebutuhan hakim yang sangat mendesak, Pengurus Pusat IKAHI menyambangi Presiden Joko Widodo di Istana pada Maret lalu.

Pertemuan itu membawa angin "segar". Presiden mempersilakan MA melakukan pengadaan hakim. Sebagai tindak lanjut, pada 31 Maret 2017, Ketua MA M Hatta Ali menandatangani PERMA No.2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. PERMA ini mengatur perekrutan hakim melalui jalur CPNS.

Lantas, jika kembali menggunakan pola rekrutmen CPNS, apa kabar status hakim sebagai pejabat negara? Dan, apakah MA telah mendapat respon baik dari MenPAN-RB? Suhadi menceritakan, ketika konsultasi dengan sejumlah Kementerian menemui jalan buntu, MA mencoba berkonsultasi dengan Sekretariat Negara (Setneg).

"Waktu itu coba merapat ke Setneg, bagaimana jalan keluarnya. Setneg ke Presiden, ditugaskan lagi MenPAN-RB untuk mencari jalan keluarnya. Menteri yang baru ini terbuka untuk melalui jalur pegawai negeri lagi. (Tapi) Saya belum tahu bagaimana finalisasinya, karena tempo hari saya tanya, sedang ada konsultasi antara MenPAN-RB dengan Kemenkeu (terkait anggaran)," terangnya.

Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan, sejauh ini, peraturan perundang-undangan tidak secara spesifik dan seragam mengatur apa konsekuensi jika seseorang memegang sebuah jabatan atau fungsi penyelenggaraan negara dengan status atau sebutan "pejabat negara".

Karena itu, sambung Arsul, konsekuensinya mengikuti peraturan perundang-undangan masing-masing pejabat negara. Bisa jadi, konsekuensi pejabat negara yang satu berbeda dengan yang lain. Contoh konkrit, meski anggota DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan KPK sama-sama berstatus pejabat negara, konsekuensi jabatan mereka berbeda.

"Jadi, konsekuensi bagi hakim (selaku pejabat negara) akan bergantung pada UU Jabatan Hakim yang akan disahkan nantinya, serta peraturan perundang-undangan turunannya," ujarnya kepada hukumonline, Jumat (2/6/2017).

Arsul menambahkan, mengenai persoalan struktur penggajian, kepangkatan, dan rekrutmen hakim yang masih mengikuti pola PNS, sudah seharusnya dibenahi lewat UU Jabatan Hakim. Selebihnya harus dijabarkan lagi dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk jika perlu me-review kembali PP No.94 Tahun 2012.

Anggaran vs pemenuhan hak dan fasilitas hakim
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I, Direktorat Jenderal Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Karjono mengatakan, konsekuensi lain dari status hakim sebagai pejabat negara adalah mendapatkan hak keuangan, serta sejumlah fasilitas pejabat negara, seperti perumahan dan pengawalan.

Berdasarkan ketentuan PP No.94 Tahun 2012, hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri dari, gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, serta tunjangan lain berupa, tunjangan keluarga, beras, dan tunjangan kemahalan.

Apa yang ada diatas "kertas" tak berbanding lurus dengan realita. Karjono tidak menampik jika fasilitas belum memadai. Namun, ia berpendapat, masing-masing pejabat negara memiliki karakter berbeda-beda. Terlebih lagi, karakter pejabat negara pada profesi hakim sedikit berbeda, karena pada umumnya pejabat negara berjumlah sedikit dan berada di pusat.

"Kalau hakim itu sebagai pejabat negara secara keseluruhan, apakah nanti iya, yang di pengadilan, pengadilan tinggi, MA? Makanya, kemarin itu, saat (pembahasan draf RUU Jabatan Hakim) hakim sebagai pejabat negara, ditawarkan (solusi). Sebab, saat (hakim berstatus) pejabat negara, perlakuannya juga pejabat negara," tuturnya kepada hukumoline di kantornya di Gedung Ditjen PP, Selasa (30/5).

Menurut Karjono, salah satu kendala pemenuhan fasilitas hakim adalah anggaran. Maka, menjadi suatu yang wajar bila pemberian fasilitas atau tunjangan pengganti fasilitas disesuaikan dengan kemampuan negara. Tengok saja ketentuan yang tercantum pada Pasal 5 ayat (2) PP No.94 Tahun 2012.

Pasal 5 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal rumah negara dan/atau sarana transportasi belum tersedia, Hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

"Kenapa 'dapat', itu pasti terkait dengan anggaran. Dan, itu teman-teman dari Kemenkeu pasti selalu menjaga gawang itu. Artinya, kalau dia ada perumahan ya dia dapat perumahan, kalau dia tidak dapat perumahan, 'dapat' diganti dengan uang sewa, dan lain-lain. Tapi, teman-teman dari Kemenkeu biasanya, 'sepanjang keuangan negaranya itu ter-cover," kata Karjono.

Untuk diketahui, kata "dapat" dalam Pasal 5 ayat (2) PP No.94 Tahun 2012 pernah diuji materi oleh Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) ke MA. Akan tetapi, MA melalui putusan No.28 P/HUM/2015 tanggal 29 Desember 2015 menolak dalil permohonan FDHI karena objek permohonan dianggap tidak bertentangan dengan UU. Baca Juga: MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim

Karjono berpendapat, sebenarnya justru perumahan hakim lebih baik dibandingkan petugas pemasyarakatan, meski keduanya sama-sama aparat Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Jadi, istilahnya, jika fasilitas perumahan hakim cukup tersentuh dengan baik, aparat pemasyarakatan masih jauh dari harapan.

Kemudian, mengenai adanya pendapat yang menyatakan pemerintah dapat menggelontorkan anggaran tanpa perlu menerbitkan PP atau Peraturan Presiden (Perpres), tetapi cukup misalnya dengan PERMA, Karjono menilai itu tidak akan berjalan. "Karena apa? Kalau tidak ada Perpres, tidak ada PP, sepanjang itu kelembagaan, tidak bisa dibayar nanti," imbuhnya.

Terlepas dari problematika pemenuhan hak dan fasilitas hakim, Karjono menyarankan agar PP No.94 Tahun 2012 direvisi. PP itu dibuat tahun 2012, sehingga sudah sepatutnya nominal yang ada di PP disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tentu, penentuan hak keuangan menjadi ranah dua kementerian, yaitu KemenPAN-RB dan Kemenkeu.

Senada, Arsul mengakui bila negara belum memenuhi kewajibannya dengan memberikan seluruh hak-hak para hakim sebagaimana diatur dalam PP No.94 Tahun 2012. Penjelasan pemerintah kepada Komisi III DPR, kendala utama pemenuhan hak-hak tersebut tak lain karena keterbatasan kemampuan fiskal.

"Namun, ini tidak berarti tidak ada perbaikan lho. Dibanding masa lima tahun (lalu) dan sebelumnya, maka perbaikan gaji dan tunjangan hakim lumayan signifikan. Yang belum banyak tersentuh adalah soal fasilitas, seperti rumah dinas, dan lain-lain itu," ujarnya,

Sementara, Arsul menerangkan, Komisi III di satu sisi terus meminta Menteri Keuangan memperhatikan pemenuhan kewajiban hak dan fasilitas hakim. Di sisi lain, Komisi III juga meminta agar MA mengalokasikan anggaran dengan lebih baik lagi. Misalnya, dengan mengurangi alokasi belanja yang bertitik berat pada pemenuhan fasilitas di MA saja.

Suhadi mengamini jika fasilitas bagi hakim belum terpenuhi seluruhnya. Sebagai contoh, hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang jumlahnya mencapai 50 orang, belum tentu semuanya mendapatkan rumah dinas. Bagi mereka yang tidak mendapat rumah dinas, akan mengontrak rumah/kost. Itu pun tidak ada penggantian tunjangan perumahan, tetapi dibiayai sendiri dari gaji mereka. Hal ini juga terjadi di daerah.

Untuk alokasi anggaran pembangunan fasilitas bagi hakim, menurut Suhadi belum menjadi fokus. Sebab, 80 persen anggaran sudah habis untuk belanja pegawai, sedangkan sisanya 20 persen untuk belanja barang dan modal. Kualifikasi biaya modal sendiri, antara lain dapat berwujud bangunan dan kendaraan.

Dengan demikian, pemenuhan fasilitas rumah negara bagi hakim dirasa belum memadai. Apabila mengacu Laporan Tahunan MA 2016, sampai dengan tahun 2015, rumah negara yang dimiliki oleh MA sebanyak 4.701 unit, sedangkan tahun 2016 tidak ada penambahan. Kondisinya, 4.034 unit baik, 492 unit rusak ringan, dan 175 unit rusak berat. Untuk itu, masih dibutuhkan anggaran pembangunan, rehabilitasi dan renovasi rumah negara.

-Bob Setyanegara

Wednesday, November 29, 2017

Bob Setyanegara: Bingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium Advokat

Bob Setyanegara
Advokat
Bob Setyanegara
Jika Anda bertanya “adakah aturan mengenai patokan honorarium advokat di Indonesia?”, maka jawabannya jelas: tidak ada! Artinya, honorarium advokat sepenuhnya hasil negosiasi advokat dengan klien, tanpa batas! Baik UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) beserta aturan turunannya maupun Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tidak mengatur standar penetapan honorarium advokat.

Ini bukan berarti fee advokat tidak punya ukuran sama sekali. Dalam praktik, ada kok beberapa jenis honorarium advokat yang perlu diketahui sebelum bernegosiasi menentukan honorarium. UU Advokat hanya menyebutkan bahwa honorarium “ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak” (pasal 21 ayat 2). Sedangkan KEAI hanya menambahkan agar “Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien” (pasal 4 huruf d).

Sebelum disahkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) hingga terbitnya Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih ada advokat yang menetapkan honorarium dengan tarif dolar kepada kliennya. Pembayaran pakai dolar membuat profesi advokat menjadi salah satu pilihan utama bagi lulusan fakultas hukum.

Memang, sulit untuk memastikan berapa besar anggaran yang harus disiapkan membayar honorarium advokat. Apalagi informasi lengkap mengenai tarif jasa advokat bukan hal yang mudah didapat untuk membandingkan advokat mana yang sesuai budget Anda.

Ahmad Fikri Assegaf, pendiri firma hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP) mengamini tidak ada standar yang baku tentang biaya jasa advokat. Skema pembayaran honorarium bisa berbeda antara advokat yang satu dengan yang lain. Pria yang telah berpraktik advokat sejak 1993 ini menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah apakah advokat bekerja sendiri atau dengan tim seperti firma.

Partner pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Abdul Haris Muhammad Rum menjelaskan pada dasarnya tiap advokat menetapkan tarif jasa berdasarkan perhitungan biaya operasional kantor hukumnya. “Kantor hukum adalah unit usaha. Artinya biaya yang keluar dari proses pemberian jasa hukum harus tertutupi dengan pemasukan yang diperoleh,” katanya.

Hitungan biaya operasional ini yang akan mempengaruhi tarif yang ditetapkan tiap kantor hukum. Jika melibatkan pegawai, advokat juga terikat ketentuan pengupahan tenaga kerja. Masing-masing kantor hukum mempunyai layanan berbeda bagi kliennya yang juga menjadi komponen biaya operasional.

Mengacu pada praktik di Indonesia yang diadaptasi dari kebiasaan di Amerika dan Eropa -dikutip dari buku yang ditulis Binoto Nadapdap berjudul 'Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat'- setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode penghitungannya. Pertama, honorarium advokat berdasarkan porsi keuntungan yang dimenangkan klien (contingent fee/tarif kontingensi). Kedua, honorarium advokat berdasarkan unit waktu yang digunakan (time charge/hourly rate/tarif per jam). Ketiga, honorarium berdasarkan periode waktu tertentu (retainer fee). Keempat, honorarium berdasarkan nilai borongan perkara hingga selesai yang dibayar sekaligus di muka atau bertahap (lump sum/fixed fee/tarif pasti).

Tarif kontingensi adalah jenis honorarium berdasarkan penetapan porsi bayaran advokat dari nilai total keuntungan yang dimenangkan klien dalam perkaranya. Secara sederhana, no win no fee. Advokat mendapatkan honorarium sebesar persentase yang disepakati di awal jika klien berhasil mendapatkan keuntungan yang diharapkan dari perkaranya.

Tarif per jam artinya setiap unit jam yang digunakan advokat untuk memberikan jasa hukum bagi klien dihargai dengan nilai pembayaran tertentu. Klien harus memastikan sejak awal berapa tarif per jam dari advokat yang akan dipakai jasanya. Hitungan ini meliputi bentuk jasa apapun yang digunakan klien per jam mulai dari konsultasi via telepon, pembuatan surat menyurat untuk legal opinion, hingga tindakan lainnya yang dilakukan advokat dalam satuan  per jam.

Tarif retainer dibayarkan secara berkala dalam besaran dan periode tertentu yang diperjanjikan. Pembayaran honorarium tidak tergantung pada ada atau tidaknya jasa yang diberikan advokat kepada klien dalam periode tersebut. Advokat akan menyediakan waktunya untuk memberikan jasa kepada klien kapanpun diminta dalam periode itu. Digunakan atau tidak jasa advokat dalam periode perjanjian, klien wajib membayar honorarium. Bisa dalam periode bulanan atau tahunan.

Adapun tarif pasti adalah jenis honorarium advokat yang dinilai dan dibayarkan sekaligus dimuka untuk menyelesaikan suatu perkara hingga tuntas. Apapun yang terjadi dalam perkara, advokat tidak akan menagih tambahan honorarium untuk perkara yang ditangani hingga selesai. Menang atau kalah, honorarium advokat sudah dilunasi di awal. Bisa juga dibayarkan secara bertahap, namun besar honorarium tidak dapat dikurangi oleh klien dari besaran yang telah disepakati.

Di luar dari tarif tersebut untuk membayar honorarium advokat, masih bisa diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi besarannya pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Perlu diingat agar hitungan biaya transportasi, biaya akomodasi, biaya administrasi perkara, dan biaya sidang dibicarakan secara terbuka antara advokat dan klien. Karena honorarium yang dibayarkan bisa saja sudah termasuk biaya-biaya tersebut atau hanya sekadar biaya jasa advokat. Begitu pula jika ada biaya tambahan terkait perkara yang baru diketahui di tengah jalan.

Faktor Penentu
Managing partner firma hukum AHP, Bono Daru Adji mengungkapkan tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat yang menangani. Bagi advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. “Ada international publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The Legal 500, Asia Law,” jelas Bono terkait pasar firma hukum korporasi.

Sebelumnya, advokat  Timur Sukirno, menyampaikan hal senada. “Lihat juga pengalaman dan apa yang pernah dilakukan. Dua itu aja pada dasarnya,” ujar Managing Partner dari firma hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP).

Ira Andara Eddymurthy, pendiri firma hukum Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono (SSEK), dalam satu sesi seminar Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) mengutarakan bahwa jenis honorarium advokat sebenarnya sudah berkembang dengan banyak variasi. Klien bisa menyepakati tarif campuran (blended rate), tarif dengan batasan (capped fee), bahkan diskon (discounted rate) dengan advokatnya.

Betapapun, Ira mengingatkan bahwa dalam menentukan tarifnya advokat harus memperhatikan pula ekspektasi klien, jenis pekerjaan yang akan dilakukan, durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya, tingkat kesulitan, serta siapa saja kompetitornya dalam pekerjaan tersebut. Bagi kantor hukum menjadi sangat penting memiliki manajemen yang baik untuk alokasi pekerjaan dan pengelolaan keuangan agar tidak merugi.

Perlukah Diatur?
Pertanyaan dasarnya apakah memang honorarium advokat itu perlu diatur agar tidak tanpa batas? Apakah larangan menggunakan tarif dolar perlu dipertegas? Bono Daru Adji berpendapat walaupun saat ini di kalangan corporate lawfirm sudah tidak lagi menggunakan tarif dolar sesuai hukum yang berlaku, tarif yang disodorkan pada klien hanya mengonversi tarif sebelumnya dengan kurs dolar terhadap rupiah. “Nilainya masih sama saja,” ujarnya.

Tren yang terjadi belakangan ini firma-firma hukum berkompetisi melakukan efisiensi kerja untuk menawarkan harga kompetitif yang cenderung lebih rendah dari rata-rata di pasar pengguna jasa. Bagi kalangan konsultan hukum pasar modal tren ini mendorong wacana pengaturan batasan honorarium.

Sebagai benchmarking, Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sejak tahun 2016 menentukan tarif batas bawah honorarium untuk jasa audit Akuntan Publik.  Tujuannya agar Kantor Akuntan Publik (KAP) melakukan audit sesuai kode etik dan tidak sembrono hanya demi meraup untung dalam persaingan pasar.

Ada indikator batas bawah tarif penagihan (billing rate) per jam ditetapkan berdasarkan klasifikasi berjenjang (tabel) yang berlaku di layanan jasa akuntan publik.

Pada dasarnya, UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik) dan Kode Etik Akuntan Publik tidak mengatur batasan honorarium Akuntan Publik. Namun dalam rangka menjaga standar jasa layanan audit, asumsi IAPI menetapkan nilai tersebut sebagai indikator minimal acuan bahwa prosedur audit yang memadai sesuai Kode Etik dan peraturan perundangan dapat terpenuhi.

Jika dikaitkan dengan jasa advokat, hal ini masih menjadi perdebatan tersendiri. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syarkawi Rauf mengusulkan ada standar minimal layanan jasa ketimbang standar honorarium bagi layanan seperti jasa hukum. “Saya tidak merekomendasikan (standar honorarium), di asosiasi ini lebih baik bikin standar pelayanan minimum di jasa konsultan hukumnya itu seperti apa,” katanya dalam seminar HKHPM Agustus silam.

Pendapat tersebut senada dengan pendapat Arsul Sani, kini anggota DPR, dalam seminar hukumonline “Standar Jasa Hukum Advokat dan Pertanggungjawabannya Terhadap Klien” 2013 silam soal perlindungan hukum bagi klien dalam menggunakan jasa advokat. Menurut Arsul, diperlukan standar layanan yang jelas dari jasa profesional advokat agar klien sebagai konsumen dapat menagih lebih jelas hak yang sebanding dengan honorarium yang dibayarkan.

Tuesday, November 28, 2017

Pendidikan Hukum Dalam Perspektif Masa Depan

Bob Setyanegara
Pendidikan Hukum

Pendidikan di mana pun di dunia ditujukan untuk menjawab permasalahan dan tantangan terkini dari masyarakatnya. Baik dalam lingkup satuan masyarakat, negara, regional maupun dalam skala global sekalipun. Bukan itu saja, pendidikan juga ditujukan untuk menjawab tantangan masa depan satuan-satuan tersebut. 
 
Tuntutan itu mengandung arti bahwa hukum harus juga bisa berfungsi untuk merencanakan, mendisain, dan membangun masyarakat, negara bahkan dunia yang dianggap idaman pada suatu kurun waktu yang relevan. Di titik itu, perdebatan dimulai. 
 
Apa yang dimaksud dengan masyarakat, negara dan dunia yang menjadi idaman kita? Tentu itu sangat tergantung pada jawaban atas pertanyaan siapa kita sebenarnya, dan dimana kita berpijak. Kita sadar bahwa ideologi politik, sistem ekonomi, kendali kekuasaan, budaya, dan tata nilai selalu berubah, yang mempengaruhi juga soal konsep idaman tadi. 
 
Kita menyaksikan dalam lintas sejarah bahwa suatu konsep idaman jatuh bangun tertarik oleh tuntutan jaman, pergeseran waktu maupun perubahan nilai. Disitu kita melihat jatuh bangunnya konsep demokrasi, kapitalisme, sosialisme, komunisme serta simpangan-simpangannya. 
 
Demikian halnya dengan pendidikan hukum, sebagai bagian kecil dari sistem pendidikan dan sistem masyarakat, kenegaraan atau tata dunia yang lebih besar itu. Konsep kepastian hukum, keadilan, harmoni masyarakat, sistem penghukuman dan koreksi, penghargaan terhadap HAM, dan nilai-nilai lainnya berubah terus, dan antar satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya saling melibat, mempengaruhi dan dipengaruhi, saling belajar, saling menyadarkan, saling silang adopsi nilai hukum; semua itu mengerucut pada keinginan untuk membentuk kondisi yang paling dianggap tepat dan ideal bagi suatu masyarakat atau negara untuk masa tertentu.
 
Dalam pendidikan hukum modern yang mulai diadopsi di Indonesia sekitar empat dasawarsa lalu, setelah meninggalkan sistem pendidikan hukum jaman Belanda yang kerap dogmatis, terlihat bahwa beberapa pendekatan baru mulai diterapkan: (i) ilmu hukum bukan dipelajari sekedar sebagai teks semata, tetapi harus lebih dipahami dalam konteksnya dengan kondisi dan dinamika masyarakat dimana hukum diterapkan, (ii) pengaruh pendekatan ekonomi, sosial, politik, antropologi, dan psikologi mulai diterapkan dalam pembelajaran ilmu hukum, (iii) ilmu hukum tidak hanya mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, tetapi juga harus mampu untuk berperan besar dalam merancang tata nilai masyarakat dan negara dalam perspektif masa depan, (iv) pengaruh sistem pendidikan hukum asing mulai masuk kedalam sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan banyaknya sarjana Indonesia yang belajar ilmu hukum di negara-negara maju, umumnya di negara penganut sistem common law, dan kemudian kembali ke kampusnya di Indonesia, dan (v) keterbukaan karena sistem ekonomi dan politik yang lebih liberal (inklusif) ikut mempengaruhi nilai-nilai hukum yang harus menjadi perhatian ilmu hukum dalam perkembangannya. 
 
Oleh sebagian pengajar yang termodernkan (sebagian lainnya tetap menerapkan cara-cara yang diwariskan oleh sistem pendidikan hukum lama yang dogmatis dan satu arah), mahasiswa kembali diharuskan untuk mulai membaca, berdebat dikelas dan di acara-acara debat terbuka, mempelajari yurisprudensi dan perkembangannya diluar teks hukum positif, mempertimbangkan cabang ilmu lainnya, dan yang paling penting mulai menulis secara ilmiah. Kondisi memodernkan pendidikan hukum ini dirusak oleh Orde Baru yang korup dan represif, di mana hukum kemudian dibuat, ditafsirkan dan diterapkan untuk kepentingan kekuasaan dan lingkaran bisnis dari penguasa dan kroninya.
 
Kemudian era berganti, dan reformasi berjalan setelah Soeharto dan kekuasaannya runtuh. Semangat euforia untuk berjalan dalam konstitusi, menerapkan demokrasi, menghargai HAM dan tanggung jawab kepada konstituen dan publik pada umumnya serta tekanan dari organisasi masyarakat sipil (CSO) menjadikan hukum kemudian harus dibuat dengan menganut prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar dengan melibatkan berbagai partisipasi unsur masyarakat. 
 
Demikian pula sistem pendidikan hukum kita. Semangat tersebut terus bergaung, tetapi sayangnya hanya berhenti di tingkat CSO dan concerned citizens pada umumnya. Penguasa kembali hanya memikirkan kepentingan dan kelompoknya sendiri. Parlemen mengalami keterpurukan kepercayaan masyarakat dan tidak mampu dan produktif membentuk hukum yang baik. Demikian pula terjadi pada sejumlah lembaga penegak hukum kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi. Skandal demi demi skandal politik dam korupsi terjadi yang melibatkan penyelenggara negara tingkat tinggi dalam spektrum yang luas. Hukum kembali menjadi slogan, sementara pendidikan hukum menjadi gamang, mencari-cari bentuknya yang ideal yang seringkali bersimpangan dengan kenyataan tentang bagaimana hukum sebenarnya dipraktekkan atau harus dipraktekkan. 
 
Sementara itu dunia terus berubah. Negara-negara pecah. Ekonomi dunia dilanda resesi sampai sekarang ini. Isu konflik agama, separatisme, terorisme, narkoba, dan krisis pangan serta energi terus mendera warga dunia. Akhir-akhir ini arus pengungsi, perebutan hegomoni di beberapa kawasan, dan perdagangan manusia mewarnai kericuhan dunia. Memang dunia dalam sejarah umat manusia belum pernah aman, tenteram dan sejahtera, tetapi rasanya belum pernah kita hidup dalam kekacauan multi dimensi seperti sekarang ini. Usaha perbaikan di banyak negara, antar negara, antar kawasan, dan gerakan internasional bukannya tidak ada, tetapi ketika krisis melanda suatu negara maka prioritas utama adalah menjaga rumah dan  halaman belakangnya sendiri. 
 
Yang juga sangat menarik adalah bahwa apa yang diramalkan oleh para futuris ternyata terjadi. Ada dunia lain yang bersatu, yang diam-diam bekerja sama dan menjalin solidaritas, tanpa membedakan latar belakang warna kulit, agama, ras, status sosial, wilayah negara, dan semua unsur pembeda lainnya. Dunia itu adalah dunia yang dihubungkan oleh teknologi. 
 
Tidak ada yang bisa menghalangi siapapun, di mana pun di seluruh pusat dan pojok dunia, dengan latar belakang apa pun, untuk membicarakan, mendiskusikan dan memperdebatkan masalah penindasan wanita dan anak-anak, kampanye gila dari Trump, penculikan oleh Boko Haram, pengungsi Suriah, pelarangan burkini, perusakan lingkungan, antrian makanan, kebangkrutan ekonomi negara, korupsi politisi, dan semua masalah dunia kini. Itu didengar oleh para pemimpin dan penguasa dan menjadi panduan mereka dalam memutus kebijakan perbaikan. Mungkin kita masih ingat bahwa pada waktu kita membela Bibit dan Chandra dalam heboh Cicak Buaya, dukungan dari 1,4 juta facebookers ikut menentukan penyelesaian kericuhan tersebut. 
 
Itu semua digerakkan oleh teknologi internet, media konvensional, citizen journalism, film-film documenter, dan media sosial dalam berbagai bentuk. Dunia melakukan transaksi keuangan 24 jam sehari dengan sentuhan pada papan ketik atau layar elektronik pada komputer atau smartphone.  Barang-barang dan jasa diperdagangkan tanpa kantor, tanpa formalitas kaku, dan melibatkan banyak sumber berdasarkan sistem ekonomi berbagi. Semua tanpa hirau atas batas negara. Manajemen database hukum dan penyelesaian masalah-masalah hukum, identifikasi dan kecenderungan konsumen, sistem audit, transaksi perbankan, bahkan pemilihan umum dilakukan dengan sistem robotik yang sangat akurat. Pendidikan pun mulai dilakukan secara online. 
 
Rapat-rapat penting dilakukan dengan konperensi jarak jauh dengan kualitas suara dan gambar yang sangat mirip aslinya. Orang tidak perlu bertemu untuk memenuhi kebutuhannya. Identitas manusia ditentukan oleh nomor dan password, dan bahkan hastag atau cashtag. 
 
Seorang petani dapat menawarkan dengan sistem lelang hasil pertaniannya, dan sekaligus tenaga listrik yang dihasilkan oleh panas matahari dari atap lumbung beras atau gandumnya. Seorang nelayan dapat menawarkan ikan tangkapannya dengan harga terbaik ke Tsukiji Market di Tokyo langsung dari perahunya. Seorang pasien di suatu ujung dunia dapat dipindai, dianalisis, dan diberi pengobatan terbaik oleh dokter ahli di ujung dunia lainnya. 
 
Demikianlah, di satu sisi dunia masih bergulat dengan seluruh permasalahannya yang kita lihat di layar televisi hari ini atau di berita yang kita baca di smartphone detik ini. Tetapi dunia lainnya itu, dunia maya, juga sedang berputar, berhubungan, berkolaborasi, untuk mencari jalan keluar sendiri. Pertanyaan besarnya, di mana hukum berperan nantinya, dan bagaimana pendidikan hukum harus dirancang dan diselenggarakan untuk menjawab persoalan-persoalan “konvensional” dan persoalan-persoalan “dunia” baru itu secara sekaligus?
 
Pendidikan hukum karenanya harus mampu memberikan pemahaman (bukan memproduksi) mahasiswa bahwa kita masih berkutat dengan masalah korupsi dan good governance (transparansi, tanggung jawab, akuntalibitas, keadilan), proses demokratisasi, penghargaan HAM, bangunan politik dunia, krisis ekonomi, konflik agama dan etnis, gerakan separatis, teror, perlindungan lingkungan, masalah perolehan dan distribusi energi, pangan dan air bersih serta fasilitas umum. 
 
Demikian juga pada saat yang sama mahasiswa perlu memahami dunia baru yang terhubung dengan jejaring internet dan otomatisasi serta teknologi baru lainnya yang hampir bisa menjawab hampir semua kebutuhan manusia tanpa secara fisik saling terhubung. Pendidikan hukum yang bisa menjawab itu semua tentu sangat menarik. Karena akan ikut berperan dalam menyiapkan hukum yang sesuai dan tenaga-tenaga professional yang akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut tanpa menjadi gagap atau hilang akal ditengah perubahan yang luar biasa ini.

Pendidikan hukum mencetak sarjana - sarjana hukum yang nantinya akan menggantikan tokoh - tokoh dan profesi di bidang hukum seperti pengacara contohnya Bob Setyanegara, hakim, dan lainnya.

Bob Setyanegara: Contoh Kasus Pidana Korupsi

Bob Setyanegara
Pengadilan
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai Gusrizal dalam sidang di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang didakwakan kepadanya.

"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman penjara selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).

Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan dalam dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa dalam pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua. Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan.

PENYELESAIAN

      Penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam penanggulangan Kasus Korupsi.

Undang-Undang ini telah diterapkan dalam penanganan kasus Bahasyiem dan Gayus  sebelumnya dan memperoleh hasil yang memuaskan dan signifikan, dengan penerapan asas beban pembuktian terbalik (the shifting of burden of proof). Didalam kasus korupsi, apabila jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus di bebaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi pemberian dan korupsi itu terbungkus sangat rapi, sehingga sulit untuk dilacak. Antara lain memberian dalam bentuk fisik (tunai), bukan dengan cara transfer, sebab dengan cara transfer akan sangat mudah untuk dilacak dari nomer rekeningnya.  Asas pembuktian terbalik telah diterapkan yaitu pada UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik  ( pada Pasal 12B, 12C, serta 37 ) dan .Keunggulan UU ini adalah terletak pada kewajiban Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan Lembaga Penyedia Barang untuk melaporkan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan untuk dianalisis oleh PPATK dan menghasilkan Laporan Hasil Analisis (LHA).

Dalam penerapannya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk mengungkap kasus korupsinya dulu barulah tindak pidana money laundering, penerapan pasal pencucian uang dapat menjadi strategi bagi KPK untuk mengungkap kasus tindak Pidana korupsi dengan cara menelusuri aliran transaksi keuangan dari rekening si pelaku. Ini sebagai strategi baru dalam pengungkapan suatu tindak pidana kejahatan, bukan dari hulu melainkan dari hilir. Karena pada hakikatnya kejahatan Money Laundry bukanlah suatu kejahatan  yang berdiri sendiri, namun sebagai bentuk follow up atau modus untuk menyamarkan asal-usul uang yang telah didapat dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebelumnya, agar seolah-olah uang tersebut menjadi legal asal usulnya.

Jika dalam penanganan kasus korupsi kemudian kita menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi maka yang kita dapat hanyalah memenjarakan pelaku, namun apabila kita juga menjerat para pelaku dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka ada satu bentuk upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan. Undang-Undang TPPU memprioritaskan untuk mengejar aset. Kasarnya, dengan UU TPPU kita bisa ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat.


KESIMPULAN

Penyelesaian kasus korupsi melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan dengan cara melihat atau menelusuri aliran dana yang mengalir dari rekening si pelaku korupsi ke para pihak-pihak yang disinyalir menerima aliran dana hasil dari tindak pidana korupsi tersebut.

Dengan menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundry ini ada satu bentuk upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan karena pada dasarnya Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundry ini memprioritaskan untuk mengejar aset dengan kata lain, dengan UU Tindak Pidana Money Laundry ini kita bisa ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat. Lain halnya dengan penegakkan kasus korupsi secara konvensional yang biasa diterapkan oleh KPK, dengan menembak koruptor dengan pasal-pasal tidak pidana korupsi biasanya hanya mampu memenjarakan para pelaku saja, dengan tuntutan tindak pidana money laundry ini sekiranya dapat menjadi suatu strategi baru yang dapat diterapkan oleh KPK dan seluruh aparatur penegak hukum terkait  penanganan kasus-kasus korupsi yang masih marak, dan massive  di negeri ini.

- Bob Setyanegara

Sunday, November 26, 2017

Bob Setyanegara: Contoh Kasus Pidana, Percobaan dan Analisisnya

Bob Setyanegara
Ilustrasi- Perampokan


Kasus: Percobaan Perampokan Toko Emas

Pengadilan Negeri (PN) Prabumulih menggelar sidang perdana perkara percobaan perampokan terhadap pemilik Toko Emas Sinar Jaya, Amin bin Aman, warga Jalan Jendral Sudirman Kelurahan Pasar I Kecamatan Prabumulih Utara, Rabu (02/05) sekitar pukul 12.30 WIB.
Duduk sebagai terdakwa dalam perkara tersebut, Juwandie (36), warga Jl Jendral Sudirman Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur, dan Soerinto (38), warga Jl Rama Gang Tunggal Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur. Selama menjalani persidangan kedua terdakwa didampingi oleh kuasa hukumnya.

Sidang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Prabumulih, Nun Suhaini SH MH, hakim anggota Aris Fitra Wijaya SH dan Nugraha Medika Perkasa SH dan Panitera Budi Suarno SH. Agendanya mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan Kholil Sahari SH dan Harry SH.
Dalam dakwaannya, JPU menyatakan kedua terdakwa, didakwa pasal tunggal yakni pasal 365 (2) ke-1 KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan kejahatan, mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan orang lain. Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah rumah, dilakukan oleh dua orang,” ujar JPU membacakan dakwaan.

Lebih lanjut JPU menyatakan, perbuatan kedua terdakwa diatur dalam Pasal 365 (2).  “Perbuatan kedua terdakwa, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 365 (2) ke-1 KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana,” sambung JPU.

Usai pembacaan, dakwaan majelis hakim menyatakan menunda persidangan dan akan kembali dilanjutkan, Kamis (10/05) dengan memerintahkan JPU menghadirkan saksi.

“Sidang kita tunda, dan dilanjutkan, Kamis depan agenda pemeriksaan saksi yang akan dihadirkan JPU. Terdakwa silakan kembali keruang tahanan,” pungkas Ketua Majelis seraya mengetukkan palu tanda berakhirnya persidangan.

Sekedar mengingatkan, kedua terdakwa diseret ke meja hijau, setelah keduanya mencoba melakukan percobaan pencurian terhadap toko mas Sinar Jaya pada 3 Februari lalu. Lantaran mendapat perlawanan dan diteriaki oleh korban Amin (pemilik toko mas, red) keduanya berhasil kabur.
Namun selang berapa menit, terdakwa Soerinto menyerahkan diri kepada  kepolisan, dari pengakuan Soerinto, dan berdasarkan rekaman kamera CCTV yang terpasang ditoko korban, tiga minggu kemudian terdakwa  Juwandie, yang diduga sebagai otak pelaku, berhasil dirinngkus Satuan Reskrim Prabumulih pimpinan AKP Raphael Lingga ST SH.

Identifikasi masing kasus Percobaan Perampokan Toko Emas, berdasarkan :
1. Pelaku
Juwandie (36), warga Jl Jendral Sudirman Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur, dan Soerinto (38), warga Jl Rama Gang Tunggal Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur
.
2. Tindak Pidana
Percobaan Perampokan Toko Emas memenuhi unsur tindak pidana karena ada niat untuk melakukan perampokan, sifat melawan hukum karena merampok merupakan suatu kejahatan, ada orang atau pelaku yaitu  Juwandie  dan Soerinto. Keduanya mencoba melakukan percobaan pencurian terhadap pemilik Toko Emas Sinar Jaya, Amin bin Aman, warga Jalan Jendral Sudirman Kelurahan Pasar I Kecamatan Prabumulih Utara, Rabu (02/05) sekitar pukul 12.30 WIB.

3. Akibat dari tindak pidana tersebut diatas
Didakwa pasal tunggal yakni pasal 365 (1)  KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan kejahatan, mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan orang lain. Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah rumah, dilakukan oleh dua orang”.

Perbuatan kedua terdakwa tersebut juga dapat diatur dalam Pasal 365 (2) dengan hukuman penjara selama – lamanya 12 tahun. Ini diperjelas dengan pasal 365 (2) 1e, dan 2e, bahwa perbuatan tersebut dilakukan pada malam hari  dan dilakukan oleh dua orang bersama-sama.

Jadi hukuman yang diberikan kepada terdakwa menurut pasal pidana tersebut selama 12 tahun tetapi karena adanya unsur percobaan seperti yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”

Dan diperjelas lagi dalam pasal 53 ayat 2 “Maksimum hukuman utama, yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan”, maka hukuman bagi terdakwa seharusnya selama 8 tahun. Hal ini karena sepertiga dari 12 tahun adalah 4 tahun, dan karena percobaan maka 12 tahun dikurangi sepertiganya yaitu 4 tahun, ancaman hukumannya menjadi 8 tahun.

Contoh kasus ini bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi pihak - pihak dibidang hukum seperti pengacara Bob Setyanegara.

Wednesday, November 22, 2017

Bob Setyanegara: Mengapa Kasus Allianz Life Bisa Berujung Pidana?

Bob Setyanegara
Kronologis Kasus Allianz
Sengketa klaim asuransi yang biasanya masalah perdata kini dibawa ke ranah pidana. Bagaimana ceritanya?

Sengketa antara perusahaan asuransi dan nasabah bukan cerita baru. Beda paham antara keduanya tak jarang berakhir di meja pengadilan dalam kasus perdata. Namun, kasus yang satu ini berbeda, sang pelapor, alias nasabah, mengadukan petinggi perusahaan tempatnya membeli asuransi ke ranah kasus pidana.

Adalah Joachim Wessling, mantan Presiden Direktur Allianz Life Indonesia yang dilaporkan oleh Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda. Mereka melaporkan dugaan penipuan terkait dengan penolakan klaim biaya rumah sakit oleh Allianz ke Polda Metro Jaya pada bulan Maret dan April 2017. Joachim dijadikan tersangka kasus pidana pelanggaran Pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bersama Manager Claim Allianz Life, Yuliana Firmansyah.

Menurut Alvin Lim, kuasa hukum Ifranius, penyebab kasus ini berujung pidana adalah karena yang dipermasalahkan kliennya merupakan cara dan proses penolakan klaim tersebut. Menurutnya tidak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak Allianz, ketika kliennya mengeluhkan proses pencairan klaim. Ia mengumpamakan: “Bapak misalnya utang sama saya Rp100 juta, itu perdata kan tagihnya kan? Tapi menagihnya ke Bapak saya akan pukul Bapak, nah itu pidana kan? Sama. Jadi kita menagih hak-hak kita ke asuransi tapi asuransi pakai modus untuk menolaknya,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Rabu (27/9).

“Selama ini orang tidak tahu soal begini. Saya tahu. Awalnya polisi juga bingung kenapa pidana. Setelah saya jelaskan dua jam, baru mereka tahu bahwa memang ini pidana,” kata Alvin.

Sementara itu Direktur Reserse Tindak Pidana Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan membenarkan status tersangka tersebut. “Sudah (jadi tersangka),” katanya kepada Tirto, Rabu (27/9).

Namun, terkait bukti-bukti yang digunakan untuk penetapan tersangka dua orang tadi, Adi enggan menjawab secara rinci. Ia hanya mengatakan: “Insya Allah buktinya sudah lengkap.”

Menurut pihak pelapor, Allianz Life meminta catatan rekam medis lengkap dari rumah sakit sebagai syarat mencairkan klaim biaya rumah sakit sejumlah Rp16,5 juta. Menurut Alvin, permintaan itu memang klaim kedua kalinya yang diminta kliennya.

“Yang pertama kalau Rp12 juta, kalau enggak salah,” tutur Alvin.

Namun, syarat yang diajukan Allianz berbeda. Klaim pertama dibayarkan dalam seminggu hanya dengan syarat kelengkapan: kwitansi dan surat keterangan dokter. Sementara yang kedua, dimintai rekam medis dari rumah sakit dengan tenggat dua minggu.

“Jadi mereka pakai syarat itu dua minggu harus dikasih (ke mereka). Kalau enggak, klaimnya ditolak. Nggak bakalan ada (rumah sakit) yang bisa, Pak!” tambah Alvin.

Menurutnya, permintaan rekam medis lengkap adalah permintaan yang melanggar hukum karena dalam Permenkes No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, hak pasien hanyalah resume medis, berupa ringkasan catatan medis yang umumnya hanya 1-2 halaman.

Berdasarkan Pasal 12 aturan tersebut, berkas rekam medis memang dimiliki oleh sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit. Namun isi rekam medis yang boleh dicatat, disalin, dan diberikan kepada pasien adalah dalam bentuk ringkasan rekam medis.

Menurut Alvin, syarat yang diajukan oleh Allianz Life hanyalah modus dan tipu daya untuk menolak klaim secara halus. “Tidak adanya itikad baik inilah yang mematangkan unsur kesengajaan,” tambahnya.

Selain itu, Alvin mengklaim syarat tambahan rekam medis tersebut juga tidak ada dalam polis. Sehingga, memenuhi ketentuan undang-undang perlindungan konsumen, karena penjualan produk tidak sesuai ketentuan atau keterangan brosur.

Dua minggu sebelum 20 September 2017, saat Joachim dan Yuliana jadi tersangka, Allianz Life sempat mentransfer pencairan klaim sebesar Rp16,5 juta. Namun, pihak pelapor menolak jumlah itu, dengan alasan kerugian karena kasus ini sudah bertambah.

“Kerugian kan memang Rp16,5 juta, tapi karena kasus hukum sudah berjalan, ada biaya bayar pengacara, makan, bensin, tetek bengek, enggak mungkin Rp16,5 juta lagi. Ketika kita mengajukan jumlah di atas Rp16,5 juta, dia (Allianz) malah bilang kita memeras. Ya sudah saya bilang kalau tidak ada kecocokan ya tidak usah damai, jalan saja terus,” ungkap Alvin. Namun Alvin enggan mengungkap jumlah yang diminta pelapor.

Melalui tanggapan resminya pada Senin (25/9) kemarin, PT. Allianz Life Indonesia mengetahui perihal keberatan nasabahnya. “Saat ini belum dapat memberikan komentar lebih lanjut terkait proses yang sedang berjalan.”

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai kasus selisih paham klaim asuransi dengan pemegang polisnya adalah hal biasa. “Biasanya perusahaan asuransi jiwa, kalau ada klaim yang sama, dua atau tiga kali, pasti (curiga), itu normal. Proses yang normal,” ungkapnya di Balai Kartini, Jakarta.

“Yang perlu dilihat isi polisnya,” tambah Togar. “Biasanya kan ada klausul yang bilang, ‘jika dinilai terjadi sesuatu’ (maka perusahaan asuransi boleh mengecek ulang). Nah, di situ yang harus dilihat lagi,” ujar Togar menanggapi persyaratan tambahan dari Allianz Life dalam kasus yang sedang bergulir.

Ia juga melihat hal ini sebagai sesuatu yang tak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, tak jarang bagi perusahaan asuransi jiwa untuk membayar klaim sampai miliaran rupiah, apalagi dalam kasus Allianz Life yang dituntut hanya belasan juta rupiah. Adanya dugaan fraud atau kecurangan yang dilakukan oleh nasabah bisa jadi sebuah alasan perusahaan asuransi tak membayar klaim.

Hal serupa juga disampaikan Herris Simanjuntak, pengamat asuransi. Ia mengatakan, ketika pihak asuransi minta tambahan bukti, biasanya karena ia mencium terjadi sesuatu.

“Kalau saya lihat sebagai pihak luar, kenapa sampai asuransi minta itu pasti karena sesuatu kan. Kalau you klaim asuransi (dan) semuanya clear, asuransi pasti enggak minta apa-apa. Tapi kalau you klaim berkali-kali, pasti perusahaan mikir ini ada apa ini?” ungkap mantan Dirut Asuransi Jiwasraya ini kepada Tirto.

Herris menilai, yang lebih penting adalah harus ada klarifikasi langsung dari pihak asuransi yang bermasalah, agar informasinya tidak simpang siur.

Head of Corporate Communications Allianz Life Indonesia Adrian D.W. enggan memberikan komentar lebih saat dihubungi. Ia menjawab sesuai dengan rilis yang sudah disebar oleh perseroan. Namun, menurut Allianz, pihaknya senantiasa menghormati hak para nasabah, terutama terkait dengan manfaat klaim.

“Kami selalu bertindak sesuai dengan ketentuan di dalam polis dan seturut hukum dan peraturan yang berlaku. Seluruh permohonan dan keberatan dari nasabah juga diperlakukan sesuai dengan hal tersebut,” ungkap Adrian lewat pesan singkat kepada Tirto.

Namun, bagi Alvin kasus yang ditanganinya tidak biasa. Menurutnya, bila perusahaan asuransi ini terbukti mempersulit proses klaim nasabah, Allianz Life Indonesia berpotensi kena pidana. Bila sudah terbukti pidana, sesuai dengan Pasal 63 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pelaku usaha dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi hingga pencabutan izin usaha.

“Jadi kalau terbukti bersalah maka pengadilan bisa tutup izin operasinya,” kata Alvin.

Selain kasus Ifranius, Alvin mengklaim telah ditunjuk 12 nasabah lainnya yang mengadukan PT Allianz Life Indonesia. Dalam dua hari terakhir bahkan ada tambahan 4 kasus yang berkonsultasi padanya. Jumlah kerugian kliennya ini macam-macam, hingga ratusan juta rupiah. Ia juga yakin, korban lain yang tidak paham masalah asuransi masih banyak.