Wednesday, November 22, 2017

Bob Setyanegara: Mengapa Kasus Allianz Life Bisa Berujung Pidana?

Bob Setyanegara
Kronologis Kasus Allianz
Sengketa klaim asuransi yang biasanya masalah perdata kini dibawa ke ranah pidana. Bagaimana ceritanya?

Sengketa antara perusahaan asuransi dan nasabah bukan cerita baru. Beda paham antara keduanya tak jarang berakhir di meja pengadilan dalam kasus perdata. Namun, kasus yang satu ini berbeda, sang pelapor, alias nasabah, mengadukan petinggi perusahaan tempatnya membeli asuransi ke ranah kasus pidana.

Adalah Joachim Wessling, mantan Presiden Direktur Allianz Life Indonesia yang dilaporkan oleh Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda. Mereka melaporkan dugaan penipuan terkait dengan penolakan klaim biaya rumah sakit oleh Allianz ke Polda Metro Jaya pada bulan Maret dan April 2017. Joachim dijadikan tersangka kasus pidana pelanggaran Pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bersama Manager Claim Allianz Life, Yuliana Firmansyah.

Menurut Alvin Lim, kuasa hukum Ifranius, penyebab kasus ini berujung pidana adalah karena yang dipermasalahkan kliennya merupakan cara dan proses penolakan klaim tersebut. Menurutnya tidak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak Allianz, ketika kliennya mengeluhkan proses pencairan klaim. Ia mengumpamakan: “Bapak misalnya utang sama saya Rp100 juta, itu perdata kan tagihnya kan? Tapi menagihnya ke Bapak saya akan pukul Bapak, nah itu pidana kan? Sama. Jadi kita menagih hak-hak kita ke asuransi tapi asuransi pakai modus untuk menolaknya,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Rabu (27/9).

“Selama ini orang tidak tahu soal begini. Saya tahu. Awalnya polisi juga bingung kenapa pidana. Setelah saya jelaskan dua jam, baru mereka tahu bahwa memang ini pidana,” kata Alvin.

Sementara itu Direktur Reserse Tindak Pidana Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan membenarkan status tersangka tersebut. “Sudah (jadi tersangka),” katanya kepada Tirto, Rabu (27/9).

Namun, terkait bukti-bukti yang digunakan untuk penetapan tersangka dua orang tadi, Adi enggan menjawab secara rinci. Ia hanya mengatakan: “Insya Allah buktinya sudah lengkap.”

Menurut pihak pelapor, Allianz Life meminta catatan rekam medis lengkap dari rumah sakit sebagai syarat mencairkan klaim biaya rumah sakit sejumlah Rp16,5 juta. Menurut Alvin, permintaan itu memang klaim kedua kalinya yang diminta kliennya.

“Yang pertama kalau Rp12 juta, kalau enggak salah,” tutur Alvin.

Namun, syarat yang diajukan Allianz berbeda. Klaim pertama dibayarkan dalam seminggu hanya dengan syarat kelengkapan: kwitansi dan surat keterangan dokter. Sementara yang kedua, dimintai rekam medis dari rumah sakit dengan tenggat dua minggu.

“Jadi mereka pakai syarat itu dua minggu harus dikasih (ke mereka). Kalau enggak, klaimnya ditolak. Nggak bakalan ada (rumah sakit) yang bisa, Pak!” tambah Alvin.

Menurutnya, permintaan rekam medis lengkap adalah permintaan yang melanggar hukum karena dalam Permenkes No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, hak pasien hanyalah resume medis, berupa ringkasan catatan medis yang umumnya hanya 1-2 halaman.

Berdasarkan Pasal 12 aturan tersebut, berkas rekam medis memang dimiliki oleh sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit. Namun isi rekam medis yang boleh dicatat, disalin, dan diberikan kepada pasien adalah dalam bentuk ringkasan rekam medis.

Menurut Alvin, syarat yang diajukan oleh Allianz Life hanyalah modus dan tipu daya untuk menolak klaim secara halus. “Tidak adanya itikad baik inilah yang mematangkan unsur kesengajaan,” tambahnya.

Selain itu, Alvin mengklaim syarat tambahan rekam medis tersebut juga tidak ada dalam polis. Sehingga, memenuhi ketentuan undang-undang perlindungan konsumen, karena penjualan produk tidak sesuai ketentuan atau keterangan brosur.

Dua minggu sebelum 20 September 2017, saat Joachim dan Yuliana jadi tersangka, Allianz Life sempat mentransfer pencairan klaim sebesar Rp16,5 juta. Namun, pihak pelapor menolak jumlah itu, dengan alasan kerugian karena kasus ini sudah bertambah.

“Kerugian kan memang Rp16,5 juta, tapi karena kasus hukum sudah berjalan, ada biaya bayar pengacara, makan, bensin, tetek bengek, enggak mungkin Rp16,5 juta lagi. Ketika kita mengajukan jumlah di atas Rp16,5 juta, dia (Allianz) malah bilang kita memeras. Ya sudah saya bilang kalau tidak ada kecocokan ya tidak usah damai, jalan saja terus,” ungkap Alvin. Namun Alvin enggan mengungkap jumlah yang diminta pelapor.

Melalui tanggapan resminya pada Senin (25/9) kemarin, PT. Allianz Life Indonesia mengetahui perihal keberatan nasabahnya. “Saat ini belum dapat memberikan komentar lebih lanjut terkait proses yang sedang berjalan.”

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai kasus selisih paham klaim asuransi dengan pemegang polisnya adalah hal biasa. “Biasanya perusahaan asuransi jiwa, kalau ada klaim yang sama, dua atau tiga kali, pasti (curiga), itu normal. Proses yang normal,” ungkapnya di Balai Kartini, Jakarta.

“Yang perlu dilihat isi polisnya,” tambah Togar. “Biasanya kan ada klausul yang bilang, ‘jika dinilai terjadi sesuatu’ (maka perusahaan asuransi boleh mengecek ulang). Nah, di situ yang harus dilihat lagi,” ujar Togar menanggapi persyaratan tambahan dari Allianz Life dalam kasus yang sedang bergulir.

Ia juga melihat hal ini sebagai sesuatu yang tak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, tak jarang bagi perusahaan asuransi jiwa untuk membayar klaim sampai miliaran rupiah, apalagi dalam kasus Allianz Life yang dituntut hanya belasan juta rupiah. Adanya dugaan fraud atau kecurangan yang dilakukan oleh nasabah bisa jadi sebuah alasan perusahaan asuransi tak membayar klaim.

Hal serupa juga disampaikan Herris Simanjuntak, pengamat asuransi. Ia mengatakan, ketika pihak asuransi minta tambahan bukti, biasanya karena ia mencium terjadi sesuatu.

“Kalau saya lihat sebagai pihak luar, kenapa sampai asuransi minta itu pasti karena sesuatu kan. Kalau you klaim asuransi (dan) semuanya clear, asuransi pasti enggak minta apa-apa. Tapi kalau you klaim berkali-kali, pasti perusahaan mikir ini ada apa ini?” ungkap mantan Dirut Asuransi Jiwasraya ini kepada Tirto.

Herris menilai, yang lebih penting adalah harus ada klarifikasi langsung dari pihak asuransi yang bermasalah, agar informasinya tidak simpang siur.

Head of Corporate Communications Allianz Life Indonesia Adrian D.W. enggan memberikan komentar lebih saat dihubungi. Ia menjawab sesuai dengan rilis yang sudah disebar oleh perseroan. Namun, menurut Allianz, pihaknya senantiasa menghormati hak para nasabah, terutama terkait dengan manfaat klaim.

“Kami selalu bertindak sesuai dengan ketentuan di dalam polis dan seturut hukum dan peraturan yang berlaku. Seluruh permohonan dan keberatan dari nasabah juga diperlakukan sesuai dengan hal tersebut,” ungkap Adrian lewat pesan singkat kepada Tirto.

Namun, bagi Alvin kasus yang ditanganinya tidak biasa. Menurutnya, bila perusahaan asuransi ini terbukti mempersulit proses klaim nasabah, Allianz Life Indonesia berpotensi kena pidana. Bila sudah terbukti pidana, sesuai dengan Pasal 63 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pelaku usaha dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi hingga pencabutan izin usaha.

“Jadi kalau terbukti bersalah maka pengadilan bisa tutup izin operasinya,” kata Alvin.

Selain kasus Ifranius, Alvin mengklaim telah ditunjuk 12 nasabah lainnya yang mengadukan PT Allianz Life Indonesia. Dalam dua hari terakhir bahkan ada tambahan 4 kasus yang berkonsultasi padanya. Jumlah kerugian kliennya ini macam-macam, hingga ratusan juta rupiah. Ia juga yakin, korban lain yang tidak paham masalah asuransi masih banyak.

No comments:

Post a Comment