Pengadilan |
"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman penjara selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan dalam dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa dalam pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua. Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan.
PENYELESAIAN
Penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam penanggulangan Kasus Korupsi.
Undang-Undang ini telah diterapkan dalam penanganan kasus Bahasyiem dan Gayus sebelumnya dan memperoleh hasil yang memuaskan dan signifikan, dengan penerapan asas beban pembuktian terbalik (the shifting of burden of proof). Didalam kasus korupsi, apabila jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus di bebaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi pemberian dan korupsi itu terbungkus sangat rapi, sehingga sulit untuk dilacak. Antara lain memberian dalam bentuk fisik (tunai), bukan dengan cara transfer, sebab dengan cara transfer akan sangat mudah untuk dilacak dari nomer rekeningnya. Asas pembuktian terbalik telah diterapkan yaitu pada UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik ( pada Pasal 12B, 12C, serta 37 ) dan .Keunggulan UU ini adalah terletak pada kewajiban Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan Lembaga Penyedia Barang untuk melaporkan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan untuk dianalisis oleh PPATK dan menghasilkan Laporan Hasil Analisis (LHA).
Dalam penerapannya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk mengungkap kasus korupsinya dulu barulah tindak pidana money laundering, penerapan pasal pencucian uang dapat menjadi strategi bagi KPK untuk mengungkap kasus tindak Pidana korupsi dengan cara menelusuri aliran transaksi keuangan dari rekening si pelaku. Ini sebagai strategi baru dalam pengungkapan suatu tindak pidana kejahatan, bukan dari hulu melainkan dari hilir. Karena pada hakikatnya kejahatan Money Laundry bukanlah suatu kejahatan yang berdiri sendiri, namun sebagai bentuk follow up atau modus untuk menyamarkan asal-usul uang yang telah didapat dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebelumnya, agar seolah-olah uang tersebut menjadi legal asal usulnya.
Jika dalam penanganan kasus korupsi kemudian kita menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi maka yang kita dapat hanyalah memenjarakan pelaku, namun apabila kita juga menjerat para pelaku dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka ada satu bentuk upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan. Undang-Undang TPPU memprioritaskan untuk mengejar aset. Kasarnya, dengan UU TPPU kita bisa ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat.
KESIMPULAN
Penyelesaian kasus korupsi melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan dengan cara melihat atau menelusuri aliran dana yang mengalir dari rekening si pelaku korupsi ke para pihak-pihak yang disinyalir menerima aliran dana hasil dari tindak pidana korupsi tersebut.
Dengan menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundry ini ada satu bentuk upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan karena pada dasarnya Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundry ini memprioritaskan untuk mengejar aset dengan kata lain, dengan UU Tindak Pidana Money Laundry ini kita bisa ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat. Lain halnya dengan penegakkan kasus korupsi secara konvensional yang biasa diterapkan oleh KPK, dengan menembak koruptor dengan pasal-pasal tidak pidana korupsi biasanya hanya mampu memenjarakan para pelaku saja, dengan tuntutan tindak pidana money laundry ini sekiranya dapat menjadi suatu strategi baru yang dapat diterapkan oleh KPK dan seluruh aparatur penegak hukum terkait penanganan kasus-kasus korupsi yang masih marak, dan massive di negeri ini.
- Bob Setyanegara
No comments:
Post a Comment