Tuesday, November 28, 2017

Pendidikan Hukum Dalam Perspektif Masa Depan

Bob Setyanegara
Pendidikan Hukum

Pendidikan di mana pun di dunia ditujukan untuk menjawab permasalahan dan tantangan terkini dari masyarakatnya. Baik dalam lingkup satuan masyarakat, negara, regional maupun dalam skala global sekalipun. Bukan itu saja, pendidikan juga ditujukan untuk menjawab tantangan masa depan satuan-satuan tersebut. 
 
Tuntutan itu mengandung arti bahwa hukum harus juga bisa berfungsi untuk merencanakan, mendisain, dan membangun masyarakat, negara bahkan dunia yang dianggap idaman pada suatu kurun waktu yang relevan. Di titik itu, perdebatan dimulai. 
 
Apa yang dimaksud dengan masyarakat, negara dan dunia yang menjadi idaman kita? Tentu itu sangat tergantung pada jawaban atas pertanyaan siapa kita sebenarnya, dan dimana kita berpijak. Kita sadar bahwa ideologi politik, sistem ekonomi, kendali kekuasaan, budaya, dan tata nilai selalu berubah, yang mempengaruhi juga soal konsep idaman tadi. 
 
Kita menyaksikan dalam lintas sejarah bahwa suatu konsep idaman jatuh bangun tertarik oleh tuntutan jaman, pergeseran waktu maupun perubahan nilai. Disitu kita melihat jatuh bangunnya konsep demokrasi, kapitalisme, sosialisme, komunisme serta simpangan-simpangannya. 
 
Demikian halnya dengan pendidikan hukum, sebagai bagian kecil dari sistem pendidikan dan sistem masyarakat, kenegaraan atau tata dunia yang lebih besar itu. Konsep kepastian hukum, keadilan, harmoni masyarakat, sistem penghukuman dan koreksi, penghargaan terhadap HAM, dan nilai-nilai lainnya berubah terus, dan antar satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya saling melibat, mempengaruhi dan dipengaruhi, saling belajar, saling menyadarkan, saling silang adopsi nilai hukum; semua itu mengerucut pada keinginan untuk membentuk kondisi yang paling dianggap tepat dan ideal bagi suatu masyarakat atau negara untuk masa tertentu.
 
Dalam pendidikan hukum modern yang mulai diadopsi di Indonesia sekitar empat dasawarsa lalu, setelah meninggalkan sistem pendidikan hukum jaman Belanda yang kerap dogmatis, terlihat bahwa beberapa pendekatan baru mulai diterapkan: (i) ilmu hukum bukan dipelajari sekedar sebagai teks semata, tetapi harus lebih dipahami dalam konteksnya dengan kondisi dan dinamika masyarakat dimana hukum diterapkan, (ii) pengaruh pendekatan ekonomi, sosial, politik, antropologi, dan psikologi mulai diterapkan dalam pembelajaran ilmu hukum, (iii) ilmu hukum tidak hanya mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, tetapi juga harus mampu untuk berperan besar dalam merancang tata nilai masyarakat dan negara dalam perspektif masa depan, (iv) pengaruh sistem pendidikan hukum asing mulai masuk kedalam sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan banyaknya sarjana Indonesia yang belajar ilmu hukum di negara-negara maju, umumnya di negara penganut sistem common law, dan kemudian kembali ke kampusnya di Indonesia, dan (v) keterbukaan karena sistem ekonomi dan politik yang lebih liberal (inklusif) ikut mempengaruhi nilai-nilai hukum yang harus menjadi perhatian ilmu hukum dalam perkembangannya. 
 
Oleh sebagian pengajar yang termodernkan (sebagian lainnya tetap menerapkan cara-cara yang diwariskan oleh sistem pendidikan hukum lama yang dogmatis dan satu arah), mahasiswa kembali diharuskan untuk mulai membaca, berdebat dikelas dan di acara-acara debat terbuka, mempelajari yurisprudensi dan perkembangannya diluar teks hukum positif, mempertimbangkan cabang ilmu lainnya, dan yang paling penting mulai menulis secara ilmiah. Kondisi memodernkan pendidikan hukum ini dirusak oleh Orde Baru yang korup dan represif, di mana hukum kemudian dibuat, ditafsirkan dan diterapkan untuk kepentingan kekuasaan dan lingkaran bisnis dari penguasa dan kroninya.
 
Kemudian era berganti, dan reformasi berjalan setelah Soeharto dan kekuasaannya runtuh. Semangat euforia untuk berjalan dalam konstitusi, menerapkan demokrasi, menghargai HAM dan tanggung jawab kepada konstituen dan publik pada umumnya serta tekanan dari organisasi masyarakat sipil (CSO) menjadikan hukum kemudian harus dibuat dengan menganut prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar dengan melibatkan berbagai partisipasi unsur masyarakat. 
 
Demikian pula sistem pendidikan hukum kita. Semangat tersebut terus bergaung, tetapi sayangnya hanya berhenti di tingkat CSO dan concerned citizens pada umumnya. Penguasa kembali hanya memikirkan kepentingan dan kelompoknya sendiri. Parlemen mengalami keterpurukan kepercayaan masyarakat dan tidak mampu dan produktif membentuk hukum yang baik. Demikian pula terjadi pada sejumlah lembaga penegak hukum kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi. Skandal demi demi skandal politik dam korupsi terjadi yang melibatkan penyelenggara negara tingkat tinggi dalam spektrum yang luas. Hukum kembali menjadi slogan, sementara pendidikan hukum menjadi gamang, mencari-cari bentuknya yang ideal yang seringkali bersimpangan dengan kenyataan tentang bagaimana hukum sebenarnya dipraktekkan atau harus dipraktekkan. 
 
Sementara itu dunia terus berubah. Negara-negara pecah. Ekonomi dunia dilanda resesi sampai sekarang ini. Isu konflik agama, separatisme, terorisme, narkoba, dan krisis pangan serta energi terus mendera warga dunia. Akhir-akhir ini arus pengungsi, perebutan hegomoni di beberapa kawasan, dan perdagangan manusia mewarnai kericuhan dunia. Memang dunia dalam sejarah umat manusia belum pernah aman, tenteram dan sejahtera, tetapi rasanya belum pernah kita hidup dalam kekacauan multi dimensi seperti sekarang ini. Usaha perbaikan di banyak negara, antar negara, antar kawasan, dan gerakan internasional bukannya tidak ada, tetapi ketika krisis melanda suatu negara maka prioritas utama adalah menjaga rumah dan  halaman belakangnya sendiri. 
 
Yang juga sangat menarik adalah bahwa apa yang diramalkan oleh para futuris ternyata terjadi. Ada dunia lain yang bersatu, yang diam-diam bekerja sama dan menjalin solidaritas, tanpa membedakan latar belakang warna kulit, agama, ras, status sosial, wilayah negara, dan semua unsur pembeda lainnya. Dunia itu adalah dunia yang dihubungkan oleh teknologi. 
 
Tidak ada yang bisa menghalangi siapapun, di mana pun di seluruh pusat dan pojok dunia, dengan latar belakang apa pun, untuk membicarakan, mendiskusikan dan memperdebatkan masalah penindasan wanita dan anak-anak, kampanye gila dari Trump, penculikan oleh Boko Haram, pengungsi Suriah, pelarangan burkini, perusakan lingkungan, antrian makanan, kebangkrutan ekonomi negara, korupsi politisi, dan semua masalah dunia kini. Itu didengar oleh para pemimpin dan penguasa dan menjadi panduan mereka dalam memutus kebijakan perbaikan. Mungkin kita masih ingat bahwa pada waktu kita membela Bibit dan Chandra dalam heboh Cicak Buaya, dukungan dari 1,4 juta facebookers ikut menentukan penyelesaian kericuhan tersebut. 
 
Itu semua digerakkan oleh teknologi internet, media konvensional, citizen journalism, film-film documenter, dan media sosial dalam berbagai bentuk. Dunia melakukan transaksi keuangan 24 jam sehari dengan sentuhan pada papan ketik atau layar elektronik pada komputer atau smartphone.  Barang-barang dan jasa diperdagangkan tanpa kantor, tanpa formalitas kaku, dan melibatkan banyak sumber berdasarkan sistem ekonomi berbagi. Semua tanpa hirau atas batas negara. Manajemen database hukum dan penyelesaian masalah-masalah hukum, identifikasi dan kecenderungan konsumen, sistem audit, transaksi perbankan, bahkan pemilihan umum dilakukan dengan sistem robotik yang sangat akurat. Pendidikan pun mulai dilakukan secara online. 
 
Rapat-rapat penting dilakukan dengan konperensi jarak jauh dengan kualitas suara dan gambar yang sangat mirip aslinya. Orang tidak perlu bertemu untuk memenuhi kebutuhannya. Identitas manusia ditentukan oleh nomor dan password, dan bahkan hastag atau cashtag. 
 
Seorang petani dapat menawarkan dengan sistem lelang hasil pertaniannya, dan sekaligus tenaga listrik yang dihasilkan oleh panas matahari dari atap lumbung beras atau gandumnya. Seorang nelayan dapat menawarkan ikan tangkapannya dengan harga terbaik ke Tsukiji Market di Tokyo langsung dari perahunya. Seorang pasien di suatu ujung dunia dapat dipindai, dianalisis, dan diberi pengobatan terbaik oleh dokter ahli di ujung dunia lainnya. 
 
Demikianlah, di satu sisi dunia masih bergulat dengan seluruh permasalahannya yang kita lihat di layar televisi hari ini atau di berita yang kita baca di smartphone detik ini. Tetapi dunia lainnya itu, dunia maya, juga sedang berputar, berhubungan, berkolaborasi, untuk mencari jalan keluar sendiri. Pertanyaan besarnya, di mana hukum berperan nantinya, dan bagaimana pendidikan hukum harus dirancang dan diselenggarakan untuk menjawab persoalan-persoalan “konvensional” dan persoalan-persoalan “dunia” baru itu secara sekaligus?
 
Pendidikan hukum karenanya harus mampu memberikan pemahaman (bukan memproduksi) mahasiswa bahwa kita masih berkutat dengan masalah korupsi dan good governance (transparansi, tanggung jawab, akuntalibitas, keadilan), proses demokratisasi, penghargaan HAM, bangunan politik dunia, krisis ekonomi, konflik agama dan etnis, gerakan separatis, teror, perlindungan lingkungan, masalah perolehan dan distribusi energi, pangan dan air bersih serta fasilitas umum. 
 
Demikian juga pada saat yang sama mahasiswa perlu memahami dunia baru yang terhubung dengan jejaring internet dan otomatisasi serta teknologi baru lainnya yang hampir bisa menjawab hampir semua kebutuhan manusia tanpa secara fisik saling terhubung. Pendidikan hukum yang bisa menjawab itu semua tentu sangat menarik. Karena akan ikut berperan dalam menyiapkan hukum yang sesuai dan tenaga-tenaga professional yang akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut tanpa menjadi gagap atau hilang akal ditengah perubahan yang luar biasa ini.

Pendidikan hukum mencetak sarjana - sarjana hukum yang nantinya akan menggantikan tokoh - tokoh dan profesi di bidang hukum seperti pengacara contohnya Bob Setyanegara, hakim, dan lainnya.

No comments:

Post a Comment