Advokat |
Jika Anda bertanya “adakah aturan mengenai patokan honorarium advokat di Indonesia?”, maka jawabannya jelas: tidak ada! Artinya, honorarium advokat sepenuhnya hasil negosiasi advokat dengan klien, tanpa batas! Baik UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) beserta aturan turunannya maupun Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tidak mengatur standar penetapan honorarium advokat.
Ini bukan berarti fee advokat tidak punya ukuran sama sekali. Dalam praktik, ada kok beberapa jenis honorarium advokat yang perlu diketahui sebelum bernegosiasi menentukan honorarium. UU Advokat hanya menyebutkan bahwa honorarium “ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak” (pasal 21 ayat 2). Sedangkan KEAI hanya menambahkan agar “Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien” (pasal 4 huruf d).
Sebelum disahkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) hingga terbitnya Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih ada advokat yang menetapkan honorarium dengan tarif dolar kepada kliennya. Pembayaran pakai dolar membuat profesi advokat menjadi salah satu pilihan utama bagi lulusan fakultas hukum.
Memang, sulit untuk memastikan berapa besar anggaran yang harus disiapkan membayar honorarium advokat. Apalagi informasi lengkap mengenai tarif jasa advokat bukan hal yang mudah didapat untuk membandingkan advokat mana yang sesuai budget Anda.
Ahmad Fikri Assegaf, pendiri firma hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP) mengamini tidak ada standar yang baku tentang biaya jasa advokat. Skema pembayaran honorarium bisa berbeda antara advokat yang satu dengan yang lain. Pria yang telah berpraktik advokat sejak 1993 ini menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah apakah advokat bekerja sendiri atau dengan tim seperti firma.
Partner pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Abdul Haris Muhammad Rum menjelaskan pada dasarnya tiap advokat menetapkan tarif jasa berdasarkan perhitungan biaya operasional kantor hukumnya. “Kantor hukum adalah unit usaha. Artinya biaya yang keluar dari proses pemberian jasa hukum harus tertutupi dengan pemasukan yang diperoleh,” katanya.
Hitungan biaya operasional ini yang akan mempengaruhi tarif yang ditetapkan tiap kantor hukum. Jika melibatkan pegawai, advokat juga terikat ketentuan pengupahan tenaga kerja. Masing-masing kantor hukum mempunyai layanan berbeda bagi kliennya yang juga menjadi komponen biaya operasional.
Mengacu pada praktik di Indonesia yang diadaptasi dari kebiasaan di Amerika dan Eropa -dikutip dari buku yang ditulis Binoto Nadapdap berjudul 'Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat'- setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode penghitungannya. Pertama, honorarium advokat berdasarkan porsi keuntungan yang dimenangkan klien (contingent fee/tarif kontingensi). Kedua, honorarium advokat berdasarkan unit waktu yang digunakan (time charge/hourly rate/tarif per jam). Ketiga, honorarium berdasarkan periode waktu tertentu (retainer fee). Keempat, honorarium berdasarkan nilai borongan perkara hingga selesai yang dibayar sekaligus di muka atau bertahap (lump sum/fixed fee/tarif pasti).
Tarif kontingensi adalah jenis honorarium berdasarkan penetapan porsi bayaran advokat dari nilai total keuntungan yang dimenangkan klien dalam perkaranya. Secara sederhana, no win no fee. Advokat mendapatkan honorarium sebesar persentase yang disepakati di awal jika klien berhasil mendapatkan keuntungan yang diharapkan dari perkaranya.
Tarif per jam artinya setiap unit jam yang digunakan advokat untuk memberikan jasa hukum bagi klien dihargai dengan nilai pembayaran tertentu. Klien harus memastikan sejak awal berapa tarif per jam dari advokat yang akan dipakai jasanya. Hitungan ini meliputi bentuk jasa apapun yang digunakan klien per jam mulai dari konsultasi via telepon, pembuatan surat menyurat untuk legal opinion, hingga tindakan lainnya yang dilakukan advokat dalam satuan per jam.
Tarif retainer dibayarkan secara berkala dalam besaran dan periode tertentu yang diperjanjikan. Pembayaran honorarium tidak tergantung pada ada atau tidaknya jasa yang diberikan advokat kepada klien dalam periode tersebut. Advokat akan menyediakan waktunya untuk memberikan jasa kepada klien kapanpun diminta dalam periode itu. Digunakan atau tidak jasa advokat dalam periode perjanjian, klien wajib membayar honorarium. Bisa dalam periode bulanan atau tahunan.
Adapun tarif pasti adalah jenis honorarium advokat yang dinilai dan dibayarkan sekaligus dimuka untuk menyelesaikan suatu perkara hingga tuntas. Apapun yang terjadi dalam perkara, advokat tidak akan menagih tambahan honorarium untuk perkara yang ditangani hingga selesai. Menang atau kalah, honorarium advokat sudah dilunasi di awal. Bisa juga dibayarkan secara bertahap, namun besar honorarium tidak dapat dikurangi oleh klien dari besaran yang telah disepakati.
Di luar dari tarif tersebut untuk membayar honorarium advokat, masih bisa diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi besarannya pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Perlu diingat agar hitungan biaya transportasi, biaya akomodasi, biaya administrasi perkara, dan biaya sidang dibicarakan secara terbuka antara advokat dan klien. Karena honorarium yang dibayarkan bisa saja sudah termasuk biaya-biaya tersebut atau hanya sekadar biaya jasa advokat. Begitu pula jika ada biaya tambahan terkait perkara yang baru diketahui di tengah jalan.
Faktor Penentu
Managing partner firma hukum AHP, Bono Daru Adji mengungkapkan tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat yang menangani. Bagi advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. “Ada international publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The Legal 500, Asia Law,” jelas Bono terkait pasar firma hukum korporasi.
Sebelumnya, advokat Timur Sukirno, menyampaikan hal senada. “Lihat juga pengalaman dan apa yang pernah dilakukan. Dua itu aja pada dasarnya,” ujar Managing Partner dari firma hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP).
Ira Andara Eddymurthy, pendiri firma hukum Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono (SSEK), dalam satu sesi seminar Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) mengutarakan bahwa jenis honorarium advokat sebenarnya sudah berkembang dengan banyak variasi. Klien bisa menyepakati tarif campuran (blended rate), tarif dengan batasan (capped fee), bahkan diskon (discounted rate) dengan advokatnya.
Betapapun, Ira mengingatkan bahwa dalam menentukan tarifnya advokat harus memperhatikan pula ekspektasi klien, jenis pekerjaan yang akan dilakukan, durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya, tingkat kesulitan, serta siapa saja kompetitornya dalam pekerjaan tersebut. Bagi kantor hukum menjadi sangat penting memiliki manajemen yang baik untuk alokasi pekerjaan dan pengelolaan keuangan agar tidak merugi.
Perlukah Diatur?
Pertanyaan dasarnya apakah memang honorarium advokat itu perlu diatur agar tidak tanpa batas? Apakah larangan menggunakan tarif dolar perlu dipertegas? Bono Daru Adji berpendapat walaupun saat ini di kalangan corporate lawfirm sudah tidak lagi menggunakan tarif dolar sesuai hukum yang berlaku, tarif yang disodorkan pada klien hanya mengonversi tarif sebelumnya dengan kurs dolar terhadap rupiah. “Nilainya masih sama saja,” ujarnya.
Tren yang terjadi belakangan ini firma-firma hukum berkompetisi melakukan efisiensi kerja untuk menawarkan harga kompetitif yang cenderung lebih rendah dari rata-rata di pasar pengguna jasa. Bagi kalangan konsultan hukum pasar modal tren ini mendorong wacana pengaturan batasan honorarium.
Sebagai benchmarking, Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sejak tahun 2016 menentukan tarif batas bawah honorarium untuk jasa audit Akuntan Publik. Tujuannya agar Kantor Akuntan Publik (KAP) melakukan audit sesuai kode etik dan tidak sembrono hanya demi meraup untung dalam persaingan pasar.
Ada indikator batas bawah tarif penagihan (billing rate) per jam ditetapkan berdasarkan klasifikasi berjenjang (tabel) yang berlaku di layanan jasa akuntan publik.
Pada dasarnya, UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik) dan Kode Etik Akuntan Publik tidak mengatur batasan honorarium Akuntan Publik. Namun dalam rangka menjaga standar jasa layanan audit, asumsi IAPI menetapkan nilai tersebut sebagai indikator minimal acuan bahwa prosedur audit yang memadai sesuai Kode Etik dan peraturan perundangan dapat terpenuhi.
Jika dikaitkan dengan jasa advokat, hal ini masih menjadi perdebatan tersendiri. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syarkawi Rauf mengusulkan ada standar minimal layanan jasa ketimbang standar honorarium bagi layanan seperti jasa hukum. “Saya tidak merekomendasikan (standar honorarium), di asosiasi ini lebih baik bikin standar pelayanan minimum di jasa konsultan hukumnya itu seperti apa,” katanya dalam seminar HKHPM Agustus silam.
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Arsul Sani, kini anggota DPR, dalam seminar hukumonline “Standar Jasa Hukum Advokat dan Pertanggungjawabannya Terhadap Klien” 2013 silam soal perlindungan hukum bagi klien dalam menggunakan jasa advokat. Menurut Arsul, diperlukan standar layanan yang jelas dari jasa profesional advokat agar klien sebagai konsumen dapat menagih lebih jelas hak yang sebanding dengan honorarium yang dibayarkan.